bahaya AI
bahaya AI

Ancaman Baru di Era Digital: Penipuan Canggih Berbasis Kecerdasan Buatan / artificial intelligence (AI)

Oleh Redaksi Sumbu Informasi. – 20 Mei 2025

JAKARTA – Kecerdasan buatan (AI) semakin menjadi bagian integral dalam kehidupan modern, mempercepat inovasi di berbagai sektor. Namun, di balik manfaat luar biasa yang ditawarkan, teknologi ini juga membuka pintu bagi kejahatan siber yang semakin canggih — salah satunya adalah penipuan berbasis AI yang kini menimbulkan keresahan global.

Modus Penipuan AI: Dari Suara Palsu hingga Deepfake Video

Penipuan digital bukan hal baru. Namun, kemunculan AI generatif mengubah lanskap secara drastis. Pelaku kejahatan kini mampu memanipulasi suara, wajah, bahkan perilaku tokoh publik atau keluarga korban dengan tingkat presisi yang mengejutkan.

Di awal tahun 2025, seorang pengusaha di Surabaya mengalami kerugian lebih dari Rp850 juta setelah menerima panggilan video dari seseorang yang menyerupai anaknya, meminta bantuan uang darurat. Belakangan diketahui bahwa video tersebut adalah deepfake—hasil rekayasa AI yang sangat realistis.

“Suara, gerakan mulut, bahkan ekspresi wajahnya sangat mirip. Saya benar-benar percaya itu anak saya,” ujar korban yang meminta namanya dirahasiakan.

AI Phishing: Email dan Chatbot yang Menyesatkan

Selain manipulasi audio-visual, AI juga digunakan untuk menciptakan email dan pesan teks phishing yang sangat meyakinkan. Dengan menganalisis jejak digital seseorang, pelaku dapat menyusun pesan yang personal dan sulit dibedakan dari komunikasi asli.

Di beberapa kasus, pelaku menyamar sebagai HRD perusahaan, lembaga keuangan, bahkan pihak berwajib. Mereka menggunakan chatbot AI untuk merespons pertanyaan secara real-time, meyakinkan korban hingga bersedia mengirim data pribadi atau OTP.

“Kalau dulu kita bisa mengenali penipuan dari tata bahasa yang buruk, sekarang sudah tidak berlaku lagi. AI membuat segalanya terdengar profesional,” kata Rini Astuti, pakar keamanan siber dari CyberLife Indonesia.

Korban Meningkat, Regulasi Masih Tertinggal

Menurut data dari Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), terdapat peningkatan 240% dalam laporan penipuan digital yang diduga melibatkan teknologi AI pada kuartal pertama tahun 2025 dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Sayangnya, regulasi di Indonesia belum cukup untuk mengejar cepatnya perkembangan teknologi ini. Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) yang mulai berlaku tahun lalu masih menghadapi tantangan implementasi, dan belum secara spesifik mengatur penggunaan AI dalam konteks kejahatan siber.

“Penegak hukum kita masih minim pengalaman dalam mendeteksi dan mengusut kejahatan berbasis AI. Di sisi lain, teknologi ini terus berkembang setiap bulan,” ujar Damar Prakoso, peneliti di Lembaga Studi Keamanan Digital (LSKD).

Langkah Pencegahan: Literasi Digital dan Deteksi Teknologi

Para ahli menyarankan peningkatan literasi digital sebagai benteng utama menghadapi gelombang penipuan berbasis AI. Pengguna internet perlu memahami bahwa tidak semua yang mereka lihat dan dengar di dunia digital adalah nyata.

Pemerintah juga didorong untuk membangun sistem pendeteksi konten AI, bekerja sama dengan platform media sosial dan layanan pesan instan. Beberapa perusahaan teknologi seperti Microsoft dan Google kini tengah mengembangkan watermark digital yang bisa mendeteksi konten deepfake secara otomatis.

Kesimpulan: Teknologi Harus Disertai Tanggung Jawab

AI adalah alat, dan seperti alat lainnya, bisa digunakan untuk kebaikan maupun kejahatan. Dunia kini menghadapi paradoks teknologi: semakin canggih suatu inovasi, semakin besar pula potensi penyalahgunaannya.

Masyarakat, pemerintah, dan sektor swasta perlu bersinergi untuk memastikan bahwa kemajuan teknologi tidak justru menjadi senjata makan tuan.

“Kita tak bisa menghentikan kemajuan AI, tapi kita bisa belajar menghadapinya dengan bijak,”


Discover more from Sumbu Informasi

Subscribe to get the latest posts sent to your email.

Leave a Comment

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply