Ketegangan yang meningkat antara Iran dan rezim Zionis Israel membawa dunia ke tepi jurang krisis energi global. Skenario penutupan Selat Hormuz—jalur laut strategis yang mengalirkan lebih dari sepertiga pasokan minyak dunia—tak lagi dianggap mustahil.
Menurut TankerTrackers dan analisis dari Bruegel Institute, lebih dari 82% pasokan minyak Jepang melewati Selat Hormuz. Jika jalur ini ditutup, raksasa industri seperti Toyota dan Sony bisa terpaksa menghentikan operasionalnya hanya dalam 72 jam. Bagi Jepang dan Korea Selatan, situasi ini setara dengan “pemutusan oksigen,” tulis Bruegel.

Di Asia Barat, dampaknya tak kalah genting. Negara kaya energi seperti Qatar diperkirakan akan mengalami penurunan PDB hingga 30% dalam tiga tahun jika ekspor LNG terganggu. Sementara itu, meskipun Arab Saudi memiliki jaringan pipa Timur-Barat sebagai jalur alternatif, sekitar 30% ekspornya tetap terancam lumpuh.
Eropa berada dalam gelombang krisis berikutnya. Kenaikan harga gas sebesar 50% dapat melumpuhkan industri-industri besar di Jerman dan Italia.
Di Amerika Serikat, lonjakan harga minyak diperkirakan akan memicu kenaikan harga bensin hingga 18%, terutama jika harga minyak dunia melejit melampaui $150 per barel.
JPMorgan memperkirakan harga minyak bisa melonjak hingga 80% dalam minggu pertama jika Hormuz ditutup. Sementara itu, rute pengiriman alternatif melalui Afrika akan meningkatkan biaya logistik hingga 300%, dan biaya asuransi kapal bisa naik 500%, menurut laporan dari Lloyd’s of London.
Krisis ini bukan hanya soal wilayah, tapi menyangkut stabilitas ekonomi dunia secara menyeluruh. Penutupan Selat Hormuz bisa menjadi pemantik resesi global yang lebih luas dan dalam dari yang pernah dibayangkan.
Discover more from Sumbu Informasi
Subscribe to get the latest posts sent to your email.